Sabtu, 05 Januari 2013

MAKALAH DASAR-DASAR PENDIDIKAN MIPA
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


Dosen pembimbing :
Dra. Jufrida, M.Si


Disusun oleh
NAMA : TUTI SIANTURI
NIM : RRA1C311003



JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik.


Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi Pendidikan di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.
2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.



BAB II
LANDASAN TEORI
Sebel kituma membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
BAB III
PEMABAHASAN

A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat?
Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
- Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupkan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.


2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.



C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

- Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi,berkepribadian pancasila dan bermartabat.





BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.





C. DAFTAR PUSTAKA
http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.detiknews.com.
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.




Kamis, 29 November 2012

revolusi matahari

Revolusi Matahari

Selain melakukan rotasi, bumi juga bergerak mengelilingi matahari atau revolusi bumi. Arah revolusi bumi jika dilihat dari utara, berarah negatif yaitu berlawanan arah jarum jam. Lintasan revolusi berbentuk elips, sehingga suatu saat terjadi jarak terjauh antara bumi dan matahari, yang dinamakan apogea, dan suatu saat juga akan terjadi jarak terdekat antara bumi dan matahari yang dinamakan perigea. Lintasan revolusi bumi membentuk bidang edar yang dinamakan ekliptika. Bidang ekliptika membentuk sudut 66,5o dengan poros bumi.

Lama revolusi bumi adalah 365 hari 6 jam 9 menit 10 detik atau 365¼ hari. Rentang waktu revolusi bumi ini digunakan untuk menghitung waktu satu tahun yang dianggap 365 hari. Untuk mencocokkan dengan waktu revolusi, maka setiap 4 tahun sekali ditambah satu hari di bulan Februari. Tahun yang memiliki 366 hari ini dinamakan tahun kabisat, contohnya adalah tahun 2004, 2008, 2012, dst.
Beberapa gejala alam yang diakibatkan oleh revolusi bumi yaitu :
  1. Peredaran semu matahari
Matahari sebagai bintang sebenarnya tidak bergerak (diam), namun dilihat dari bumi matahari bergerak dari timur ke barat setiap hari. Selain itu, matahari juga bergerak kea rah utara dan selatan secara periodic setiap tahun. Pergerakan matahari dilihat oleh manusia ini dinamakan peredaran semu matahari.
Akibat kemiringan poros bumi, matahari seakan-akan bergerak ke arah utara dan selatan, yaitu mencapai 23,5o LU dan 23,5o LS. Peristiwa ini secara periodic terjadi dalam satu tahun.
  • Pada tanggal 21 Maret, matahari tepat berada di garis khatulistiwa.
  • Pada tanggal 21 Juni matahari mencapai 23,5o LU.
  • Pada tanggal 23 September, matahari berada di garis khatulistiwa
  • Pada tanggal 22 Desember, matahari berada di 23,5o LS
2. Pergantian musim
Peredaran semu matahari menyebabkan terjadinya perubahan musim di wilayah lintang 23,5o sampai ke kutub. Ini akibat dari intensitas sinar matahari yang menyinari wilayah tersebut. Pada sekitar bulan Juni, matahari berada di lintang utara menyebabkan sinar matahari di daerah kutub utara berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya musim panas. Sebaliknya di kutub selatan akan kekurangan sinar matahari, sehingga menyebabkan musim dingin.
Kemudian sekitar bulan Desember, matahari yang berada di kutub selatan akan mengakibatkan wilayah kutub selatan mengalami musim panas. Sedangkan wilayah kutub utara akan mengalami musin dingin.
Perubahan musim panas ke musim dingin akan terjadi musim gugur, yaitu saat tumbuhan (pepohonan) akan merontokkan daun-daunnya. Sedangkan setelah musim dingin menuju ke musim panas, terjadi musim semi, yaitu musim tumbuhan dan bunga bertunas kembali.
3. Perbedaan panjang siang dan malam
Pada saat musim dingin, malam akan lebih panjang dibanding siang. Hal ini karena cahaya matahari yang didapat hanya sedikit. Sedangkan pada musim panas, siang akan lebih panjang dibanding malam.
About these ads

Senin, 26 November 2012

hukum gravitasi



Description: Close
Hukum gravitasi universal Newton
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/0e/NewtonsLawOfUniversalGravitation.svg/220px-NewtonsLawOfUniversalGravitation.svg.png
Description: http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf2/skins/common/images/magnify-clip.png
Hukum Newton tentang gaya tarik menarik gravitasi umum
Hukum tarik-menarik gravitasi Newton dalam bidang fisika berarti gaya tarik untuk saling mendekat satu sama lain. Dalam bidang fisika tiap benda dengan massa m1 selalu mempunyai gaya tarik menarik dengan benda lain (dengan massa m2 ). Misalnya partikel satu dengan partikel lain selalu akan saling tarik-menarik. Contoh yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton dalam bidang mekanika klasik bahwa benda apapun di atas atmosfer akan ditarik oleh bumi, yang kemudian banyak dikenal sebagai fenomena benda jatuh.
Gaya tarik menarik gravitasi ini dinyatakan oleh Isaac Newton melalui tulisannya di journal PhilosophiƦ Naturalis Principia Mathematica pada tanggal 5 Juli 1687 dalam bentuk rumus sebagai berikut:
Description: F = G \frac{m_1 m_2}{r^2},
di mana:
  • F adalah besarnya gaya gravitasi antara dua massa tersebut,
  • G adalah konstante gravitasi,
  • m1 adalah massa dari benda pertama
  • m2 adalah massa dari benda kedua, dan
  • r adalah jarak antara dua massa tersebut.


Teori ini kemudian dikembangkan lebih jauh lagi bahwa setiap benda angkasa akan saling tarik-menarik, dan ini bisa dijelaskan mengapa bumi harus berputar mengelilingi matahari untuk mengimbangi gaya tarik-menarik gravitasi bumi-matahari. Dengan menggunakan fenomena tarik menarik gravitasi ini juga, meteor yang mendekat ke bumi dalam perjalanannya di ruang angkasa akan tertarik jatuh ke bumi.
TEORI GEOCENTRIS
Hipparchus (190-120 SM )
Perintis dan bapak astronomi. Astronom terbesar pada zaman era klasik, ahli geografi dan matematikawan yunani kuno pada zaman Helenistik
Bumi sebagai pusat edar tata surya
Bulan sebagai planet pertama-merkurius-venus-matahari-mars-jupiter-saturnus (pada langit kedua sampai ketujuh)
Semakin lambat pergerakannya, jaraknya dari bumi semakin jauh.

- Tidak ada peninggalan buku yang tertulis sebagai catatan sejarah
- Tidak dapat dibuktikan
- Sedikit penganutnya
- Lingkaran / bulat / bola adalah bentuk geometri yang paling sempurna orbit benda dalam sistem tata surya berbentuk lingkaran.
- Semua benda bergerak mengelilingi bumi dengan kecepatan konstan.
Menggunakan sistem gerak Retrograde, yaitu setiap gerak yang berlawanan dengan kebiasaan atau umum. Retrograde planet adalah gerak yang berlawanan dengan arah putaran bumi dengan matahari.
- Sistem ptolomeus (penerus system ini) cenderung lebih sulit dan rumit.

- Benda-benda langit memiliki baik gerakan timur-barat maupun rotasi pada arah yang berlawanan.

TEORI HELIOCENTRIS
Nicolas Copernicus (1473-1543 M)
Pada tanggal 19 Pebruari 1473 Copernicus lahir di-Torun, Polandia. Copernicus hidup pada peralihan zaman abad pertengahan dan zaman pencerahan (renaissance).
Matahari sebagai pusat edar tata surya
Merkurius sebagai planet pertama-venus-bumi-mars-jupiter-saturnus-uranus-neptunus
Perputaran harian langit akibat perputaran bumi pada sumbu putarannya dan perubahan tahunan langit akibat perputaran planet mengelilingi matahari.
- Ada 2 buah buku yang mendukung adanya teori ini revolusi benda-benda langit dan hukum gerakan planet / hukum kepler.
- Pak Bradley menemukan adanya aberasi bintang (1725 M).
- Bessel (1838) menemukan paralaks bintang pertama kali.
Bentuk lintasan orbit semua benda adalah elips.

- Menggunakan sistem epicycle, Sistem ini memudahkan perhitungan (matematis) periode orbit dan jarak relatif planet.
- Sistem ini memberikan solusi sederhana untuk gerak retrograde.
- Sistem copernicus lebih bagus dan lebih sederhana daripada sistem ptolomeus.
- Bumi dan semua planet bergerak mengitari matahari dengan arah yang sama dan laju yang berkurang semakin jauh dari matahari
- Perhitungan astronomi lebih mudah, dengan melibatkan jumlah lingkaran yang lebih sedikit. Tetapi prakiraan posisi planet-planet dan perhitungan lainnya tidak lebih tepat daripada dihitung dengan menggunakan sistem ptolemous.

TEORI HELIOSENTRIS
Heliosentris : Copernicus dan Kepler
Disusun oleh:
SIGIT RAHMAN SUGANDI 1002533
Konsep
Pada umumnya bangsa Yunani dan orang-orang yang hidup pada abad pertengahan memiliki pegangan yang kuat sebagai pandangan mereka tentang alam semesta, yaitu teori geosentris (Bumi sebagai pusat). Menurut teori ini, Bumi sebagai pusat alam semesta berada dalam keadaan diam dan planet-planet, Matahari, serta benda-benda langit lainnya bergerak mengitarinya. Gerak semu (apparent motions) planet, bulan, dan matahari relatif terhadap bintang dan terhadap satu sama lain dijelaskan secara lengkap dalam teori geosentris Hipparchus yang dikembangkan sekitar tahun 140 sebelum masehi. Namun teori geosentris memiliki kelemahan yaitu sulitnya menjelaskan fenomena retrogresi (gerak balik) periodik dari planet. Fenomena retrogresi diakibatkan karena lintasan semu planet sepanjang tahun relatif terhadap bintang-bintang adalah berupa lengkungan (kurva) yang tidak rata. Malahan, adakalanya planet-planet teramati seolah-olah bergerak mundur (berbalik) sebelum akhirnya bergerak maju kembali selama periode orbitnya. Akhirnya pada tahun 1543 teori geosentris dipatahkan oleh teori heliosentris yang diajukan oleh Nicolaus Copernicus. Dalam teori heliosentris, mataharilah sebagai pusat tata surya. Matahari dikelilingi oleh planet-planet, asteroid, komet, dan meteorid.
Dalam model heliosentris Copernicus, Matahari dianggap berada pada pusat alam semesta, bintang-bintang terletak pada bulatan angkasa dan berputar mengelilingi Matahari. Diantara Bintang-bintang dan Matahari terdapat planet-planet termasuk Bumi yang berputar mengelilingi Matahari dalam masing-masing orbitnya dengan lintasan orbit berbentuk lingkaran. Gerak mundur semu dalam peredaran planet-planet yang sulit dijelaskan oleh model geosentris, dapat dijelaskan dengan mudah dalam model heliosentris, dengan menggunakan konsep gerak relatif antara Bumi dan planet-planet lain yang bergerak disekitar Matahari dengan kecepatan sudut putar yang berbeda-beda. Namun model heliosentris Copernicus memiliki beberapa kelemahan, yaitu bintang-bintang tidak berputar mengelilingi matahari dan planet-planet tidak bergerak mengelilingi matahari dengan lintasan yang berupa lingkaran. Selanjutnya model ini disempurnakan oleh Johannes Kepler, dan melahirkan hukum 1 Kepler, hukum II Kepler, dan hukum III Kepler.

Cara kerja konsep Heliosentris
Konsep heliosentris melahirkan hukum-hukum yang dicetuskan oleh Johannes Kepler, yaitu:
Hukum I Kepler

Persamaan elips dari hukum pertama Kepler dirumuskan seperti berikut :

dimana e adalah eksentrisitas yang merupakan perbandingan antara jarak dua fokus dengan diameter panjang elips. Nilai eksentrisitas menentukan bentuk elips apakah makin lonjong atau makin mendekati bentuk lingkaran. Jika e = 0, maka orbit planet akan berupa lingkaran. Eksentrisitas bumi, ebumi = 0,017, hampir mendekati nol, jadi orbit bumi hampir mendekati lingkaran. Akibat lintasan orbit planet berbentuk elips, maka selama suatu planet bergerak mengelilingi matahari menempuh satu putaran penuh yang disebut satu tahun pleneter, jarak antara planet tersebut dengan Matahari akan selalu berubah-ubah. Titik pada lintasan orbit planet yang menandai posisi paling dekat planet ke Matahari disebut perihelium. Sedangkan titik pada lintasan orbit Planet yang menandai posisi paling jauh Planet ke Matahari disebut aphelium. Arah rotasi planet-planet dalam arah berlawanan dengan arah putar jarum jam, kecuali untuk planet Venus dan Uranus. Para astronom menetapkan arah putar berlawanan dengan arah putar jarum jam sebagai gerak langsung (direct), sedangkan arah putar searah dengan arah putaran jarum jam disebut gerak balik (retroge).

Hukum II Kepler
Hukum kedua Kepler yang disebut juga sebagai hukum kesamaan luas yang dipublikasikan pada tahun 1609, menyatakan bahwa luas (S) yang disapu oleh garis penghubung antara planet dan Matahari dalam selang waktu (t) yang sama adalah sama (S1 = S2 = S3), seperti ditunjukkan pada gambar.

Hukum ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kecepatan orbit suatu Planet mengitari matahari tidaklah konstan (uniform) melainkan berubah-ubah. Planet akan bergerak lebih cepat dalam orbitnya ketika berada pada daerah yang dekat dengan matahari, dan akan bergerak lebih lambat dalam orbitnya ketika berada pada daerah yang jauh dari matahari. Kecepatan orbit Planet berbanding terbalik dengan jaraknya terhadap matahari. Dalam notasi matematis , hukum ini dapat dirumuskan sebagai:

dengan C adalah konstanta. Persamaan ini dapat dibaca laju perubahan luas yang disapu garis penghubung planet-Matahari terhadap waktu adalah tetap, S1 = S2 = S3. Hukum kesamaan luas ini terbentuk sebagai konsekuensi dari adanya kekekalan momentum sudut dari planet-planet ketika berputar mengelilingi Matahari. Jika momentum sudut suatu planet yang mengitari matahari adalah kekal, maka planet harus bergerak lebih cepat bila dekat dengan matahari, dan bergerak lebih lambat jika berada jauh dari Matahari. Planet-planet yang berputar mengelilingi Matahari memiliki momentum sudut yang tetap, karena tidak ada gaya yang bekerja dalam arah geraknya. Gaya tarik matahari arahnya membentuk sudut 90^o terhadap arah gerak Planet

Hukum III Kepler.
Hukum ketiga Kepler yang disebut juga sebagai hukum harmonik yang dipublikasikan pada tahun 1618, menyatakan bahwa perbandingan kuadrat periode revolusi (T2) terhadap pangkat tiga dari jarak rata-rata planet ke Matahari (jari-jari elips = R3) adalah sama untuk semua planet. Secara matematika, pernyataan tersebut dapat dirumuskan seperti berikut :

Disini C adalah suatu konstanta yang memiliki nilai yang sama untuk semua Planet. Hukum ini secara eksplisit menyatakan hubungan antara periode revolusi suatu Planet dengan jaraknya terhadap matahari. Makin jauh jarak Planet ke matahari (makin besar diameter orbit Planet), makin lama periode revolusinya. Planet yang memiliki diameter orbit paling kecil adalah Merkurius dan yang paling besar adalah Pluto. Jika Bumi dijadikan sebagai acuan, dimana jarak antara Bumi dan Matahari adalah sekitar 150 x 106 km yang disebut sebagai 1 SA, dan periode revolusi Bumi adalah 1 tahun, maka konstanta C = 1, dan persamaan hukum ketiga Kepler menjadi :

disini R adalah jarak rata-rata Planet ke Matahari dalam satuan SA dan T adalah periode revolusi planet dalam satuan tahun. Jarak rata-rata setiap Planet ke Matahari dan periode revolusinya dirangkumkan dalam tabel.

Tokoh yang mengembangkan.
Seperti yang sebagian telah dijelaskan di atas, ternyata teori ini sangat panjang sejarahnya hingga menemukan hukum-hukum yang sesuai dengan teori heliosentrik.
Nicolaus Copernicus (1473-1543) merupakan orang pertama yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Matahari merupakan pusat sistem Tata Surya, dan Bumi bergerak mengeliinginya dalam orbit lingkaran. Untuk masalah orbit, data yang didapat Copernicus memperlihatkan adanya indikasi penyimpangan kecepatan sudut orbit planet-planet. Namun ia mempertahankan bentuk orbit lingkaran dengan menyatakan bahwa orbitnya tidak kosentrik. Teori heliosentrik disampaikan Copernicus dalam publikasinya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestiumkepada Paus Pope III dan diterima oleh gereja.
Tapi dikemudian hari setelah kematian Copernicus pandangan gereja berubah ketika pada akhir abad ke-16 filsuf Italy, Giordano Bruno, menyatakan semua bintang mirip dengan Matahari dan masing-masing memiliki sistem planetnya yang dihuni oleh jenis manusia yang berbeda. Pandangan inilah yang menyebabkan ia dibakar dan teori Heliosentrik dianggap berbahaya karena bertentangan dengan pandangan gereja yang menganggap manusialah yang menjadi sentral di alam semesta. Walaupun Copernicus telah menerbitkan tulisannya tentang Teori Heliosentrik, tidak semua orang setuju dengannya. Salah satunya, Tycho Brahe (1546-1601) dari Denmark yang mendukung teori matahari dan bulan mengelilingi bumi sementara planet lainnya mengelilingi matahari. Tahun 1576, Brahe membangun sebuah observatorium di pulau Hven, di laut Baltic dan melakukan penelitian disana sampai kemudian ia pindah ke Prague pada tahun 1596.
Di Prague, Brahe menghabiskan sisa hidupnya menyelesaikan tabel gerak planet dengan bantuan asistennya Johannes Kepler (1571-1630). Setelah kematian Brahe, Kepler menelaah data yang ditinggalkan Brahe dan menemukan bahwa orbit planet tidak sirkular melainkan elliptik.
Kepler kemudian mengeluarkan tiga hukum gerak orbit yang dikenal sampai saat ini yaitu :
Planet bergerak dalam orbit ellips mengelilingi matahari sebagai pusat sistem.
Radius vektor menyapu luas yang sama dalam interval waktu yang sama.
Kuadrat kala edar planet mengelilingi matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata dari matahari.
Kepler menuliskan pekerjaannya dalam sejumlah buku, diantaranya adalah Epitome of The Copernican Astronomy dan segera menjadi bagian dari daftar Index Librorum Prohibitorum yang merupakan buku terlarang bagi umat Katolik. Dalam daftar ini juga terdapat publikasi Copernicus, De Revolutionibus Orbium Coelestium.

Aplikasi teori Heliosentrik
Secara langsung teori heliosentrik dapat diaplikasikan dalam pembuatan kalender masehi (kalender matahari) yang dipakai kita saat ini, kalender matahari dibuat berdasarkan perhitungan bumi berevolusi mengelilingi matahari. Secara tidak langsung juga teori heliosentrik dipakai dalam pengembangan beberapa hal seperti dibawah ini :


Awal mula dipakainya teleskop
Pada tahun 1608, teleskop dibuat oleh Galileo Galilei (1562-1642), .Galileo merupakan seorang professor matematika di Pisa yang tertarik dengan mekanika khususnya tentang gerak planet. Ia salah satu yang tertarik dengan publikasi Kepler dan yakin tentang teori heliosentrik. Dengan teleskopnya, Galileo berhasil menemukan satelit-satelit Galilean di Jupiter dan menjadi orang pertama yang melihat keberadaan cincin di Saturnus.
Salah satu pengamatan penting yang meyakinkannya mengenai teori heliosentrik adalah masalah fasa Venus. Berdasarkan teori geosentrik, Ptolemy menyatakan venus berada dekat dengan titik diantara matahari dan bumi sehingga pengamat dari bumi hanya bisa melihat venus saat mengalami fasa sabit.
Tapi berdasarkan teori heliosentrik dan didukung pengamatan Galileo, semua fasa Venus bisa terlihat bahkan ditemukan juga sudut piringan venus lebih besar saat fasa sabit dibanding saat purnama. Publikasi Galileo yang memuat pemikirannya tentang teori geosentrik vs heliosentrik, Dialogue of The Two Chief World System, menyebabkan dirinya dijadikan tahanan rumah dan dianggap sebagai penentang oleh gereja.

Dasar yang diletakkan Newton
Di tahun kematian Galileo, Isaac Newton (1642-1727) dilahirkan. Bisa dikatakan Newton memberi dasar bagi pekerjaannya dan orang-orang sebelum dirinya terutama mengenai asal mula Tata Surya. Ia menyusun Hukum Gerak Newton dan kontribusi terbesarnya bagi Astronomi adalah Hukum Gravitasi yang membuktikan bahwa gaya antara dua benda sebanding dengan massa masing-masing objek dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda. Hukum Gravitasi Newton memberi penjelasan fisis bagi Hukum Kepler yang ditemukan sebelumnya berdasarkan hasil pengamatan. Hasil pekerjaannya dipublikasikan dalamPrincipia yang ia tulis selama 15 tahun.
Teori Newton menjadi dasar bagi berbagai teori pembentukan Tata Surya yang lahir kemudian, sampai dengan tahun 1960 termasuk didalamnya teori monistik dan teori dualistik. Teori monistik menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Sedangkan teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.